Segala sesuatu akan ada akhirnya. Setiap kisah, ada penutupnya.
Manusia datang, kemudian mereka pergi. Awalnya mereka mengucapkan salam pertemuan,
lalu kemudian mereka berlalu dengan perpisahan. Hal demikian terjadi pada
setiap orang, tidak terkecuali nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau datang dengan risalah dari sisi Rabnya, setelah
sempurna apa yang diperintahkan kepada beliau. Saat itulah beliau kembali
menuju AllahSubhanahu wa Ta’ala.
Dalam perjalanan hidup Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, salah satu momen besar yang menjadi perpisahan beliau dengan
umatnya adalah peristiwa haji wada’, haji perpisahan.
Saat itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memperlihatkan sebagian buah dari dakwah beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam. Sebelum beliau berpulang ke Rafiqul A’la, beliau diperlihatkan
hampir semua wilayah di Jazirah Arab telah menerima cahaya Islam. Orang-orang
berbondong-bondong memeluk agama Allah. Agama Islam telah kokoh.
Bendera-bendera tauhid telah berkibar di berbagai tempat. Dan Mekah telah
kembali kepada hakikatnya, dimana Allah ditauhidkan dan tidak disekutukan
dengan sesuatu apapun.
Tanda Wafat Nabi Sebagai Peringan Musibah
Pada akhir tahun 10 H, tampaklah beberapa tanda yang
mengindikasikan bahwa ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah dekat. Hal ini merupakan salah satu bentuk rahmat
dan kasih sayang Allah kepada kaum muslimin. Dengan tanda-tanda tersebut mereka
bisa mempersiapkan jiwa mereka untuk menerima suatu musibah berat yang akan
menimpa mereka. Karena tidak ada musibah yang lebih berat bagi para sahabat
melebihi musibah ditinggal oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Di antara tanda-tanda tersebut adalah ditaklukkannya Kota Mekah,
masuk Islamnya tokoh-tokoh Bani Tsaqif di Thaif, kedatangan delegasi dan utusan
negara-negara non-Islam menuju Madinah untuk memeluk Islam, dll. Ini beberapa
tanda yang menunjukkan sudah dekatnya ajal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab Tafsirnya, bahwa Ibnu
Abbas mengatakan tentang surat an-Nashr ini: “Ketika diturunkan, ia (surat
an-Nashr) mengabarkan wafatnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka beliau lebih meningkatkan ketekunan dalam urusan akhirat”
(Tafsir an-Nasa-i).
Sebelumnya, pada bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam beri’tikaf selam 20 hari, padahal di tahun-tahun
sebelumnya beliau hanya melakukannya 10 hari saja. Saat i’tikaf adalah saat
dimana seseorang menyibukkan diri beribadah kepada Allah dan mengurangi
interaksi dengan orang di sekitarnya. Ini merupakan pembelajaran dan persiapan
bagi para sahabat. Beliau mengurangi dan sedikit berinteraksi dengan mereka,
sebelum nanti beliau akan meninggalkan mereka selamanya.
Demikian juga di bulan Ramadhan di tahun tersebut, Jibril yang
biasanya menyimak bacaan Alquran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam satu kali khatam. Namun pada tahun itu Jibril menyimak
dengan dua kali khatam.
Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam menyimak
Alquran yang dibacakan Nabi sekali pada setiap tahunnya, dan pada tahun
wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali. (Muttafaqun ‘alaihi).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
berpesan kepada Muadz bin Jabal yang beliau utus ke Yaman. Beliau bersabda,
“Wahai Muadz sesungguhnya
engkau mungkin tidak bertemu aku lagi setelah tahun ini, dan mungkin saja
engkau akan melewati masjidku ini dan kuburanku ini.” Maka Mu’adz pun menangis
takut berpisah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (HR. Ahmad).
Pada bulan Dzul Qa’dah tahun 10 H, mulailah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallammempersiapkan diri untuk menunaikan haji yang pertama sekaligus
yang terakhir dalam kehidupan beliau. Yang kemudian dicatat sejarah dengan
istilah haji wada’. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam menyeru kaum muslimin dari berebagai kabilah untuk
menunaikan ibadah haji bersamanya. Diriwayatkan, jamaah haji pada tahun itu
berjumlah lebih dari 100.000 orang bahkan lebih.
Haji Wada’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berangkat dari Madinah menuju Mekah saat bulan Dzul Qa’dah
tersisa empat hari lagi. Beliau berangkat setelah menunaikan shalat zuhur dan
sampai di Dzil Hulaifah sebelum ashar. Di tempat itu, beliau menunaikan shalat
ashar dengan qashar, kemudian mengenakan pakaian ihram.
Setelah menempuh delapan hari perjalanan, sampailah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdi tanah kelahirannya,
tanah suci Mekah al-Mukaramah. Beliau berthawaf di Ka’bah, setelah itu sa’i
antara Shafa dan Marwa.
Pada tanggal 8 Dzul Hijjah 10 H, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berangkat menuju Mina. Beliau shalat zuhur, ashar,
maghrib, dan isya di sana. Kemudian bermalam di Mina dan menunaikan shalat
subuh juga di tempat itu.
Setelah matahari terbit, beliau berangkat menuju Arafah. Setelah
matahari mulai bergeser, condong ke Barat, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mulai memberikan khotbah. Dan tempat dimana beliau
berkhothbah, dibangun sebuah masjid pada pertengahan abad ke-2 H oleh penguasa
Abbasiyah dan diberi nama masjid Namirah. Di akhir khotbahnya, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
Kalian akan ditanya tentangku, apakah yang akan kalian katakan?
Jawab parahabat: kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau talah menyampaikan
(risalah), telah menunaikan (amanah) dan telah menasehati. Maka ia berkata
dengan mengangkat jari telunjuk kearah langit, lalu ia balikkan ke manusia: Ya
Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, sebanyak 3x” (HR. Muslim).
Masjid Namirah saat hari Arafah
Setelah beliau berkhotbah, Allah Ta’ala menurunkan
ayat:
“…Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah: 3).
Pada saat turun ayat tersebut, Umar bin Khattab pun menangis.
Lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”
Umar menjawab, “Sesungguhnya tidak ada setelah kesempurnaan
kecuali kekurangan.”
Dari ayat tersebut, Umar merasakan bahwa ajal Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah dekat. Apabila syariat telah sempurna, amak wahyu
pun akan terputus. Jika wahyu telah terputus, maka tiba saatnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke haribaan
Rabnya Jalla wa ‘Ala. Dan itulah kekurangan
yang dimaksud Umar, yakni kehilangan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dari sini juga kita mengetahui keagungan Kota Mekah; di sanalah
syariat yang suci ini dimulai dan di sana pula syariat disempurnakan.
Dalam kesempatan lainnya, -di Mina- Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kembali berkhotbah:
“Sesungguhnya setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak
Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di
antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu
Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang
terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari).
Kemudian beliau bersabda, “Bulan apa ini?” Kami (para sahabat)
menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau diam
sampai-sampai kami mengira beliau akan mengganti nama bulan ini.
Lalu beliau kembali bersabda, “Bukankah ini bulan Dzul Hijjah?”
Para sahabat menjawab, “Betul.”
Beliau melanjutkan, “Negeri apa ini?” Kami menjawab, “Allah dan
Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau kembali diam sampai-sampai kami
mengira beliau akan mengganti nama tempat ini.
Lalu beliau bersabda, “Bukankah ini negeri al-haram?” Kami
menjawab, “Iya, ini tanah haram.”
Beliau melanjutkan, “Lalu, hari apa ini?” Kami menjawab, “Allah
dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau kembali diam sampai-sampai kami
mengira beliau akan mengganti nama hari ini.
Lalu beliau bersabda, “Bukankah ini hari nahr (menyembelih
kurban)?” Kami menjawab, “Iya, ini hari nahr.”
Kemudian beliau bersabda,
“Sesungguhnya darah dan
harta kalian haram seperti sucinya hari kalian ini di negeri kalian ini dan di
bulan kalian ini sampai hari dimana kalian berjumpa dengan Rabb kalian.
Bukankah aku telah menyampaikan?”
Para sahabat menjawab, “Iya, Anda telah menyampaikan.”
“Maka, hendaklah orang
yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena terkadang yang
disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar langsung. Janganlah kalian
kembali kufur sepeninggalanku, sebagian kalian saling membunuh sebagaian
lainnya.”
Setelah khotbah ini, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mencukur rambutnya kemudian menunggangi kendaraannya
berangkat menuju Mekah untuk melakukan thawaf ifadhah dan shalat zuhur di
Mekah. Di sana beliau meminum air zamzam. Setelah itu, kembali lagi ke Mina dan
bermalam di sana.
Pada tanggal 11 Dzul Hijjah, saat matahari mulai tergelincir ke
barat, beliau menuju jamarat untuk melempar jumrah. Dan di sana beliau kembali
berkhotbah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Nadhrah, Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ingatlah bahwa Rabb
kalian itu satu, dan bapak kalian juga satu. Dan ingatlah, tidak ada kelebihan
bagi orang Arab atas orang ajam (non-Arab), tidak pula orang ajam atas orang
Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula
orang berkulit hitam di atas orang berkulit merah; kecuali atas dasar
ketakwaan.”
Kemudian beliau bertanya, “Bukankah aku telah menyampaikan?”
Para sahabat menjawab, “Rasulullah telah menyampaikan.”
Setelah itu beliau mengingatkan kembali tentang haramnya
mengganggu harta, menumpahkan darah, dan menciderai kehormatan. Lalu
memerintahkan para sahabat untuk menyampaikannya kepada yang tidak hadir.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap
di Mina di hari tasyrik yang ke-3. Setelah itu menuju ke Mekah untuk
melaksanakan thawaf wada’. Kemudian beliau langsung berangkat menuju Madinah.
Dan berakhirlah prosesi haji yang beliau lakukan.
Penutup
Inilah momen terbesar berkumpulnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan umatnya untuk terakhir kalinya. Beliau
mengulang-ulang ucapan “bukankah aku telah menyampaikan?” persaksian dari
umatnya sendiri bahwa beliau telah menyampaikan risalah yang telah Allah
amanahkan kepada beliau. Sekaligus sebagai pertanda sudah dekatnya ajal beliau.
Kurang lebih tiga bulan kemudian, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan dunia fana ini
menuju Rabnya. Beliau berpisah dengan sahabat-sahabatnya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menunaikan amanah, menasihati umat, dan telah
berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya. Semoga shalawat dan salam
senantiasa tercurah kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Oleh Irham Maulana
Artikel www.KisahMuslim.com